Rabu, 13 April 2011

APEL TERAKHIR BUAT ORANG TERSAYANG




         
          Apel itu, sudah busuk tapi tetap kusimpan sampai sekarang ini. Bukan apel itu yang buatku menatapnya. Tapi kenangan di dalamnya. Mungkin aku sudah dianggap aneh karena membiarkan apel dalam toples itu busuk dengan sendirinya. Aku tak ingin kehilangan kenangan itu dari ingatanku.
            Lama sudah, sekitar 3 bulan yang lalu. Aku masih melihat wajahnya, Deangga. Seorang gadis manis yang selalu menghiasi hidupku. Dia tertawa, tersenyum, melompat, berlari. Aku selalu bahagia di sampingnya. Menemaninya setiap saat. Dia paling suka pada apel. Jadi setiap hari aku membawa apel khusus untuknya.
            Berjalan, melewati jembatan kecil nan kumuh ini lagi. Aku berlari berlari kerumahnya. Saat kubuka pintu wajah berseri itu muncul diantara suram dan kelam rumah kecil tempat tinggalnya itu. Senyumnya buatku lupakan suram rumah itu. Ku tunjukan apel yang ku petik langsung dari pohon yang kutahan sendiri 13 tahun lalu. “Aku makan nanti saja ya ?” ucapnya polos. Aku mengangguk sambil tersenyum. Rasanya lengkap sudah bahagia dalam hidupku. Dia lalu menarikku menaiki sampan kecil bersama pendayungnya yang sudah tampak usang. Dia mendayung dengan lembut. Sampan bergerak perlahan tapi pasti. Dia tertawa, bercanda gurau denganku.  Memperhatikan setiap binatang dan tanaman liar di rawa dan menceritakan hal konyol tentangnya.
            Aku menatap rawa itu. Terlihat begitu indah di pagi hari. Kami mengikuti arus air untuk mengambil bubu yang sudah kami sebarkan kemarin. Deangga menarik tali yang mengikatbubu terdekat. Senyuman memenuhi wajah kami. Mengapa tidak ? Bubu pertama sudah berisikan banyak ikan apalai yang lain. Satu per satu dari ke 7 bubu yang kami tebarkan, kami angkat. Sungguh hari yang baik. Kami mendapat banyak ikanpagi ini. Tapi satu hal mengejutkan kami. Seekor buaya menghantam sampan kami. Guncangan keras kurasakan. Deangga hampir terjatuh tapi aku memeganginya. Perasaanku tiba-tiba berubah buruk, sangat buruk. Rasanya aka nada bencana yang menimpa kami.
            Aku menatap jalan besar di dekat pondok Deangga. 2 buah mobil mewah berkapasitas7 orang dan seharga masing-masing 250 juta menunggu di kejauhan. Bayangan mereka terlihat. Ibu dan kakakku. Aku tak suka melihat mereka karena aku tahu mereka tidak suka pada Deangga.mereka tak suka aku dekat dengannya. Saat sampan berhenti aku segera naik dan meminta izin pada Deangga. Dengan mudahnya ia tersenyum dan melambaikan tangan padaku.
            Segera aku menyebrangi jembatan kecil itu. Seorang pria menatapku dengan tatapan sangarnya. Aku merasa agak takut tapi aku tetap berlari. Aku menoleh lagi pada Deangga dari atas mobil. Dia masih tersenyum manis. Tapi ada ketakutan di matanya. Aku tahu pria agak sangar itu adalah ayah Deangga. Pria yang di penjara selama 15 tahun. Aku tak mengerti kenapa orang seburuk dia bisa memiliki putri semanis dan sebaik Deangga.
            Sore yang cerah. Aku berlarike rumah kecil Deangga. Berharap tidak terjadi dengan Deangga. Rasanya aku hanya bisa berlari dengan tidak benar. Kakiku gemetar. Tak mampu berlari karena takut. Aku membuka pintu. Semua tampak berantakan. Buku-buku tua dirobek-robek dan berserakan dimana-mana. Tampak ceceran darah di sekitar tempat itu. Lukisan indah yang pernah ditujukkan Deangga sudah robek, tak berbentuk lagi. Meja,kursi, semua property berantakan. Kaca-kaca berhamburan. Sesuatu yang buruk pasti terjadi. Aku berteriak memanggil Deangga. Tapi tak ada jawaban. Aku berlari-lari di sekitar tempat itu. Mencari, tapi tak menemukannya. Aku mulai resah, panic. Aku takut kalau nantinya Deangga tak lagi kutemukan.
            Aku terhenti. Merasa khawatir luar biasa. Tapi rasa khawatir itu berubah jadi penasaran. Suara tawa kecil ku dengar. Aku mencari arah suara itu. Aku menatap haru Deangga. Dia tertawa kecil dengan apel pemberianku di tangannya. Darah mengucur dari tubuhnya. Luka lebam ada disetiap tubuhnya. Tampaknya dia dipukul berkali-kali. Dia tersenyum manis padaku sebelum menghembuskan nafas terakhir. Sekarang aku menyimpan apel itu. Setiap melihatnya, aku merasa melihat Deangga tersenyum.
by: Noupa Diarga....